November 25, 2005

Lament (In Memoriam : Mbah Pong)


Jaman sekarang, orang kerja untuk cari jabatan, gengsi dan tentu saja... duit. Dari awal yang dipatok adalah gaji besar. Pokoknya sebisa mungkin dapet kedudukan terhormat, duit ngalir dan kalau bisa ditambah banyak fasilitas. Bosen sama satu pekerjaan atau dirasa duit kurang lancar, tinggal pindah kerjaan yang lain. (Mungkin gara-gara ini kali banyak artis yang ngedobel-dobel.. udah jadi pemaen sinetron masih ditambah jadi penyanyi). Perkara dia becus ngerjain pekerjaannya apa enggak, itu urusan belakangan. Kalaupun nggak capable juga bodo amat, toh udah dapet duit gede ini... Perkara punya dedikasi terhadap pekerjaannya atau tidak apalagi.... itu mah nggak kepikiran!

Nggak munafik, saya juga gitu kok. Bosen kerja di kantor sini, pindah kantor sana. Kantor sana gajinya kurang gede, loncat kantor situ. Yah, bukankah rata-rata kita semua begitu?

Yang nggak pernah kepikiran seperti itu mungkin cuma sedikit sekali. Bahkan, seumur hidup saya cuma tau satu orang yang sangat-sangat-sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya... yaitu si Mbok a.k.a Mbah Pong, pengasuh dan pembantu rumah tangga yang sudah manut keluarga saya sejak orang tua saya baru nikah.

Selama 32 tahun bekerja, hampir nggak pernah ada ketidak-beresan. Rumah selalu rapi bersih, makanan selalu siap. Tanggung jawabnya yang super dahsyat menjadikan Mbah Pong jadi orang yang paling terpercaya. Believe it or not, orang rumah saya nggak pernah ada yang ngunci kamar atau laci tempat penyimpanan uang, perhiasan dan barang berharga. Tapi nggak pernah ada satupun yang hilang. Apalagi saya yang tukang gletekkan... kalung disini, cincin disitu, duit disana.. justru Mbah Pong yang selalu ngumpulin barang-barang saya yang bertebaran dan kemudian disimpan yang rapi di dalam kamar saya.

Keluarga saya juga nggak pernah ngalamin cerita rumah kemalingan waktu ditinggal pergi. Mau plesir berbulan-bulan pun aman. Selama ada Mbah Pong, nggak perlu hire satpam. Jangan macem-macem, Mbah Pong bisa lebih galak daripada dinas tramtib!

Yang paling istimewa adalah perlakuan Mbah Pong terhadap kami (saya dan kakak saya) momongannya, yang dijaga nggak sekedar sebagai anak majikan, tapi diperlakukan seperti buah hatinya sendiri... biji matanya sendiri. Mbah Pong sudah ada sejak kami lahir. Berhubung orang tua dua-duanya kerja, jadi Mbah Pong yang mengurus segala keperluan kami. Mulai dari bangun tidur.. kami dimandiin.. disuapin.. dan seterusnya. Pekerjannya baru selesai setelah ngeloni kami sampai kami tertidur malam hari. Apapun dilakukan Mbah Pong demi kebahagiaan kami, demi terjaganya kami. Nggak jarang Mbah Pong jadi bemper dan melindungi kami kalau kami nakal, supaya kami nggak dimarahin orang tua.

Waktu kami SD, kami nggak pernah punya uang jajan karena orang tua melarang kami jajan di sekolah. Tapi karena kasihan melihat kami ndomblong sementara temen-temen semua pada jajan es, permen, kacang, etc.. maka setiap pagi Mbah Pong diem-diem nyelipin uang jajan kedalam tas sekolah kami. Uang dari gajinya sendiri.

Mbah Pong juga memfungsikan dirinya sendiri sebagai suster siaga 24 jam. Setiap kali kami sakit, Mbah Pong sigap bangun tengah malam (bahkan nggak tidur) untuk ngerawat kami atau bikinin ramuan obat tradisional darurat seperti jamu kencur, uyah asem, dll. Saya juga masih inget banget cerita mama... waktu tau saya harus di-opname 2 minggu di rumah sakit, Mbah Pong nangis sesenggukan dan mogok makan. Setelah dibujuk besok pagi-pagi boleh besuk saya, baru Mbah Pong berhenti nangis.

Salah satu kebiasaan Mbah Pong adalah nggak tidur sebelum kami momongannya pulang. Yang sering bikin repot sih saya.. karena saya sering banget pulang kerja larut malam, apalagi pake acara ngelencer main dulu sama temen-temen. Tapi mau jam berapapun saya pulang, Mbah Pong selalu nungguin sambil ngantuk-ngantuk di depan TV. Mbah Pong baru tidur setelah saya sampai di rumah dan masuk kamar. Mukanya selalu semelang kalau saya mau pergi jauh, dan selalu sumringah kalau liat saya pulang.

Selama 32 tahun, Mbah Pong memang bukan bekerja untuk keluarga kami... tapi lebih tepatnya mengabdi. Nggak pernah sekalipun ribut minta kenaikkan gaji. Berapapun yang diberikan, selalu diterima dengan penuh syukur. Tidak pernah sekalipun being ignorant, disobedient or negligent. Juga nggak pernah sekalipun Mbah Pong kepikiran untuk ganti profesi. Jadi pedagang misalnya... atau malah jadi penyanyi. Karena bagi Mbah Pong, jalan yang sudah ditunjukkan sudah sepatutnya dilakoni sepenuh hati dengan kemampuan yang dimiliki. Berapapun yang didapat bukan jadi tujuan... yang paling penting adalah memenuhi kewajiban dari Gusti Allah dalam menjalani hidup dan takdir sebagai manusia.

Luar biasa.... sebuah filosofi yang saya pelajari dari seorang Mbah Pong, yang nggak pernah makan sekolahan.. nggak bisa baca nggak bisa tulis. Seorang yang sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak saya lahir.

Sudah nggak terhitung berapa besar hutang budi saya sama Mbah Pong. Walaupun salah satu cita-cita terbesar saya adalah bisa membalas budi dan membahagiakan orang yang sudah merawat saya sejak bayi, tapi ternyata semuanya tinggal rencana. Mbah Pong sudah keburu menghadap Gusti Allah sebelum saya sempat melaksanakan cita-cita saya.
Jangan ditanya saya sedihnya seperti apa sekarang... bahkan melihat jasadnya untuk terakhir kali pun saya nggak bisa. Saya juga belum sempat minta maaf untuk segala kesalahan saya. Kalau saja Mbah Pong bisa nunggu sebentar lagi.. sampai anak saya lahir dan Mbah Pong bisa liat 'cucunya'... Tapi semuanya memang sudah tertuliskan seperti itu. Saya cuma bisa berencana, Gusti Allah yang bisa menentukan. Semoga Gusti Allah mengampuni segala kesalahannya... semoga Mbah Pong diberi kelancaran di alam sana.. dan semoga Mbah Pong mendapatkan kebahagiaan terindah sebagai balasan terhadap segala kasih sayang dan perlakuannya terhadap kami, momongannya. Amien.

(Dedicated to my most beloved Mbok a.k.a. Mbah Pong who passed away in peace today, Nov 24 '05)

1 comment:

Yessica said...

*nangis

shes such an inspiring person :)